IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM KB DITINJAU DARI SEGI PENYULUHAN
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebijakan Publik
yang dibina oleh Dr. Sarwono, MSi
Oleh :
Fatikhatul Maghfiroh
(105030100111095)
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
MALANG 2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pertumbuhan penduduk di Indonesia setiap tahunnya relatif cepat. Hal tersebut menyebabkan negara Indonesia terancam terjadi ledakan penduduk. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dari hasil sensus penduduk tahun 2010 yaitu 237,641,326 jiwa, padahal pada tahun 2000 tercatat jumlah penduduk Indonesia yaitu 206,264,595. Laju pertumbuhan di Indonesia berada di posisi keempat dunia tersebut cukup tinggi dan diprediksikan dapat menggeser jumlah penduduk di AS (www.metrotvnews.com).
Jumlah penduduk yang tidak terkendali tersebut dapat menurunkan kualitas SDM, keseimbangan lingkungan dan stabilitas ekonomi. Salah satu penyebab terjadinya peledakan penduduk yaitu masih tingginya angka kelahiran di Indonesia. Hal ini karena banyak pernikahan dini, akibat dari pergaulan bebas, kurang pahamnya masyarakat mengenai pendidikan sex dan alat-alat kontrasepsi sejak dini, serta pendidikan rendah.
Oleh karena itu, pemerintah sudah melakukan berbagai alternative diantaranya yaitu mengendalikan angka kelahiran dengan melakukan program KB. Program KB sudah dilakukan sekitar tahun 1957 hingga saat ini. Dan dari hasil dari pencapaian KB pada dasa warsa awal program Keluarga Berencana (KB) berjalan (1970-1980) Indonesia telah dapat menekan laju pertumbuhan penduduk menjadi 2,34 % dari 2.8 % lebih pada dasa warsa sebelumnya, kemudian pada 10 tahun berikutnya (1980-1990) laju pertumbuhan penduduk dapat ditekan lagi menjadi 1,98 % dan pada dekade berikutnya (1990-2000) tingkat pertumbuhannya menjadi 1,49 % (Haryono Suyono; 2005:29,dalam tesis Akhmad Zaini).
Walaupun kecenderungan pertumbuhan penduduk di Indonesia semakin turun namun perlu dicermati seperti data yang telah tercantum diatas penduduk Indonesia dari hasil sensus penduduk pada 2010 berjumlah 237,641,326 jiwa, artinya dalam 10 tahun terakhir (jika dibandingkan dengan sensus penduduk sebelumnya) penduduk Indonesia bertambah 32,7 juta jiwa atau laju rata-rata pertumbuhannya 1,49% (Jawa Pos, 7 April 2011). Dalam perkembangannya implementasi kebijakan KB kurang optimal dan belum seperti yang diharapkan. Dalam kenyataannya masih banyak permasalahan yang timbul dalam pelaksanaanya salah satunya yaitu dalam penyuluhan dan mengkomunikasikan program KB.
Dari uraian diatas penulis ingin menganalisis implementasi kebijakan Keluarga Berencana (KB) dalam makalah yang berjudul : “ Penyuluhan Program KB “. Pemilihan judul dan penulisan makalah ini berdasar dari implementasi kebijakan KB yang kurang optimal dalam penyuluhannya dan mengomunikasikan. Karena salah satu kunci keberhasilan program KB nasional adalah peran strategis para penyuluh KB (PKB/PLKB).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
- Bagaimana Implementasi kebijakan program Keluarga Berencana (KB) dalam segi penyuluhannya?
- Faktor-faktor apa saja yang mempengruhi dalam penyuluhan program Keluarga Berencana (KB) ?
1.2 Tujuan Penulisan Makalah
Dari rumusan masalah diatas terhadap penyuluhan KB dalam implementasi kebijakan KB bertujuan :
1. Menganalisis implementasi kebijakan program Keluarga Berencana dalam penyuluhannya.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan program KB dalam penyuluhannya.
1.3 Manfaat Penelitian
Sesuai dengan tujuan dari penulisan makalah ini maka diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut :
1. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam mengembangkan ilmu kebijakan public dan kaitannya dengan analisis kebijakan public.
2. Memberikan masukan bagi pemerintah dalam membuat dan menyempurnakan kebijakan keluarga berencana, khususnya di bidang penyuluhan KB.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keluarga Berencana
Keprihatinan akan ledakan penduduk dunia pertama kali dikemukakan oleh Thomas Robert Malthus yang biasa disebut dengan Teori Malthus, seorang pendeta Inggris, yang hidup pada tahun 1766 hingga tahun 1834. Ia berpendapat bahwa penduduk (seperti juga tumbuh-tumbuhan dan binatang) apabila tidak ada pembatasan, akan berkembangbiak dengan cepat dan memenuhi dengan cepat beberapa bagian dari permukaan bumi. Tingginya pertumbuhan penduduk ini disebabkan karena hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan yang tidak dapat dikendalikan dan dihentikan. Disamping itu bahwa manusia untuk hidup memerlukan bahan makanan, sedangkan laju pertumbuhan bahan makanan jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk. Apabila tidak ada pembatasan terhadap pertumbuhan penduduk, maka manusia akan mengalami kekurangan bahan makanan, inilah sumber kemelaratan dan kemiskinan. Untuk dapat keluar dari kemiskinan dan kemelaratan tersebut maka penduduk dunia harus dibatasi. Pembatasan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara : Preventive cheks dan positive checks. Karena Malthus hanya mempercayai bahwa hanya melalui Moral restrain sebagai preventive checks, maka dikemudian hari timbul berbagai kritik terhadap teorinya. Paul Ehrlich berpendapat bahwa untuk dapat keluar dari perangkap Malthus, ia menganjurkan penggunaan semua cara “Preventive checks”, misalnya dengan penggunaan alat kontrasepsi untuk mengurangi jumlah kelahiran serta pengguguran kandungan (Ida Bagus Mantra, 2004: 53). Disamping itu pandangan Malthus yang menyatakan bahwa hanya penderitaan dan ancaman akan penderitaan yang lebih buruklah yang dapat diandalkan untuk membujuk masyarakat bawah menahan diri dalam hal angka kelahiran, kini pandangan tersebut justru berlaku sebaliknya, sebagaimana pendapat Frank W. Notestien (2004 : 12) menyatakan bahwa kondisi hidup yang lebih baik dan jalan hidup yang lebih baiklah yang menjadi motivasi kecenderungan terhadap pengaturan tingkat kelahiran. (Tesis, akhmad zaini)
2.1.1 sejarah lahirnya keluarga berencana
Sebelum abad XX, di negara barat sudah ada usaha pencegahan kelangsungan hidup anak karena berbagai alasan. Caranya adalah dengan membunuh bayi yang sudah lahir, melakukan abortus dan mencegah/ mengatur kehamilan. Di Inggris, Maria Stopes. Upaya yg ditempuh untuk perbaikan ekonomi keluarga buruh dg mengatur kelahiran. Menggunakan cara-cara sederhana (kondom, pantang berkala). Amerika Serikat, Margareth Sanger. Memperoleh pengalaman dari Saddie Sachs, yang berusaha menggugurkan kandungan yang tidak diinginkan. Ia menulis buku “Family Limitation” (Pembatasan Keluarga). Hal tersebut merupakan tonggak permulaan sejarah berdirinya KB.
Untuk menekan laju pertumbuhan penduduk maka di berbagai Negara dan hampir semua Negara di dunia menggunakan cara pengaturan dan pembatasan kelahiran dengan birth control atau di Indonesia disebut keluarga berencana. Awal penerapan konsep pengaturan dan pembatasan kelahiran di Indonesia dengan berdirinya Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada tahun 1957, sedangkan secara kelembagaan dimulai pada tahun 1970. Pada tahun 1970-an Keluarga Berencana merupakan Program pemerintah murni yang titik pusatnya pada pengendalian penduduk melalui penggunaan alat kontrasepsi, konsep yang dikembangkan melalui pelembagaan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) dengan slogan cukup dua anak, laki-laki perempuan sama saja. Dalam posisi ini terkesan penduduk hanya sebagai obyek, sedang hegemoni pemerintah sangat kuat, rakyat dimobilisasi sedemikian kuat untuk menggunakan alat kontrasepsi, tanpa mempertimbangkan aspek kesehatan, kondisi tubuh, serta tanpa mendapatkan penjelasan kekurangan dan kelebihan alat kontrasepsi yang dipakainya, sehingga lambat laun mendapatkan kritik sangat keras yang datang dari masyarakat sendiri, LSM dalam negeri maupun LSM luar negeri.
Kebijakan program Keluarga Berencana (KB) tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Disebutkan pada bab IX bagian kedua pasal 56 mengenai Tugas dan Fungsi dijelaskan bahwa BKKBN bertugas melaksanakan pengendalian penduduk dan menyelenggarakan keluarga berencana. Tugas utama PLKB atau PKB tersebut melakukan penyuluhan dan motivasi KB kepada calon peserta KB, melalui kerja sama dengan para lurah atau kepala desa, ketua RT/RW, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat dan para Kader PKK di lapangan. PLKB atau PKB juga membantu kegiatan Posyandu, dan sebagainya (http://batam.tribunnews.com). Idealnya satu orang tenaga PLKB atau PKB menangani satu desa atau kelurahan. (kompas,kamis 31juli2008).
2.1.2 Pengertian dan Istilah KB
Berikut ini adalah beberapa istilah yang digunakan dalam analisa keluarga berencana (KB) beserta definisinya :
· Pasangan Usia Subur (PUS) adalah pasangan suami isteri yang isterinya berusia 15-49 tahun. Ini dibedakan dengan perempuan usia subur yang berstatus janda atau cerai.
· Pemakai alat/cara KB adalah seseorang yang sedang atau pernah memakai alat/cara KB.
· Pernah pemakai alat/cara KB (ever user) adalah seseorang yang pernah memakai alat/cara KB.
· Pemakai alat/cara KB aktif (current user) adalah seseorang yang sedang memakai alat/cara KB.
· Alat/cara KB adalah alat/cara yang digunakan untuk mengatur kelahiran.
· Kebutuhan KB yang tidak terpenuhi (unmet need) adalah persentase perempuan usia subur yang tidak ingin mempunyai anak lagi, atau ingin menunda kelahiran berikutnya, tetapi tidak memakai alat/cara KB. (www.datastatistik-indonesia.com)
Berikut ini adalah beberapa macam alat-alat kontrasepsi yang dipakai dan beredar pada saat sekarang ini. Macam-macam alat kontrasepsi tersebut antara lain adalah :
• Alat Kontarepsi Berupa Kondom
• Alat Kontarepsi Berupa Diagfragma
• Alat Kontarepsi Berupa Susuk KB
• Alat Kontarepsi Berupa Suntikan KB (KB Suntik)
• Alat Kontarepsi Berupa Pil KB
(suryadh.wordpress.com)
2.2 Implementasi Kebijakan
Menurut Grindle dalam Samodra (1994:22-24): “Implementasi kebijakan pada dasarnya ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks kebijakan”. Isi kebijakan menunjukkan kedudukan pembuat kebijakan sehingga posisi kedudukan ini akan mempengaruhi prosese implementasi kebijakan, kontek kebijakan ini meliputi kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor-aktor yang telibat. Pencapaian keberhasilan suatu kebijakan sangat tergantung pada pelaku yang mempunyai peranan di luar kebijakan. Oleh karena itu dalam menentukan keberhasilan suatu program maka model kesesuaian D.C Korten dalam Tjokrowinoto (1996:136) merupakan bentuk yang ideal untuk mencapai keberhasilan suatu program/kebijakan. Keberhasilan suatu program juga akan terjadi jika terdapat kesesuaian antara hasil program dengan kebutuhan sasaran, syarat tugas tugas pekerjaan program dengan kemampuan organisasi pelaksana, serta proses pengambilan keputusan organisasi pelaksana dengan sarana pengungkapan kebutuhan sasaran. Untuk memahami kebijakan publik banyak sekali faktor yang mempengaruhi keberhasilan kebijakan. Pada hakekatnya kebijakan publik berada dalam suatu sistem, dimana kebijakan dibuat mencakup hubungan timbal balik antara tiga elemen yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan. George C.Edwards III yang menyatakan bahwa variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan adalah : Komunikasi, Sumber daya, Disposisi dan Struktur birokrasi.
- Komunikasi
- Menurut Harold Koontz (1981:686) yang dimaksud komunikasi adalah penyampaian informasi dari pengirim kepada penerima dan informasi itu dimengerti oleh yang belakangan, selanjutnya menurut Stephen P. Robbins (1985:356) komunikasi adalah penyampaian dan pemahaman suatu maksud. Unsur-unsur komunikasi administrasi menurut Harold Koontz (1981:690-693) adalah pengirim warta, pengiriman warta, penerima warta, perubahan sebagai akibat komunikasi, faktor-faktor situasi dan organiasasi dalam komunikasi; sedangkan menurut Stephen P Robbins (1989:269) komunikasi administrasi adalah pembuatan sandi, warta saluran, penafsiran sandi, penerima umpan balik, dan apa bila disimpulkan dari beberapa pendapat di atas unsur-unsur komunikasi adalah adanya sumber warta saluran, penerima, hasil umpan balik, dan lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi yang efektif menurut Moekijat (1990:80) adalah (a) kemampuan orang untuk menyampaikan informasi; (b) pemilihan dengan seksama apa yang ingin disampaikan oleh komunikator; (c) saluran komunikasi yang jelas dan langsung; (d) media yang memadai untuk menyampaikan pesan; (e) penentuan waktu dan penggunaan media yang tepat; (f) tempat-tempat penyebaran yang memadai apa bila diperlukan untuk memudahkan penyampaian pesan yang asli, tidak dikurangi, tidak diubah, dan dalam arah yang tepat. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan apa bila memilih komunikasi menurut Deyer (1973:151) adalah (a) kecepatan, (b) kecermatan, (c) keamanan, (d) kerahasiaan, (e) catatan, (f) kesan, (g) biaya, (h) senang memakainya, (i) penyusunan tenaga kerja, (j) Jarak.
- Sumber Daya
menurut Hani Handoko (1980: 5) manajemen sumberdaya manusia adalah penarikan, seleksi, pengembangan, pemeliharaan, dan penggunaan sumberdaya manusia untuk mencapai baik tujuan-tujuan individu maupun tujuan organisasi. Ketersediaan dan kelayakan sumberdaya dalam implementasi kebijakan memegang peranan penting, karena implementasi kebijakan tidak akan efektif bilamana sumber-sumber yang dibutuhkan tidak cukup memadai. Sumber-sumber yang dimaksud menurut George C. Edwards III (1980:30) adalah : (a) staf yang relatif cukup jumlahnya dan mempunyai keahlian dan ketrampilan untuk melaksanakan kebijakan, (b) informasi yang memadai atau relevan untuk keperluan implementasi dan (c) adanya dukungan dari lingkunan untuk mensukseskan implementasi dan (d) adanya wewenang yang dimiliki implementator untuk melaksanakan kebijakan, (e) fasilitas-fasilitas lain.
- Disposisi
Disposisi sebagaimana dijelaskan oleh Subarsono AG (2005:91) diartikan sebagai watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementator, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratik. Disposisi implementator ini mencakup tiga hal penting, yang meliputi :
(1) Respons implementator terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan; (2) kognisi, yakni pemahaman para implementator terhadap kebijakan yang dilaksanakan; (3) intensitas disposisi implementator, yakni freferensi nilai yang dimiliki oleh implementator (Subarsono,2005: 101)
4. Struktur Organisasi
Kochler (dalam Arni Muhammad, 2001:23) mengatakan bahwa organisasi adalah sitem hubungan yang terstruktur yang mengkoordinasi usaha suatu kelompok untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan pendapat Wright (dalam Arni Muhammad, 2001:24) mengatakan bahwa organisasi adalah suatu bentuk system terbuka dari aktifitas yang dikoordinasikan oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama.
Adanya pengaruh struktur organisasi terhadap implementasi kebijakan dinyatakan oleh Sofyan Effendi (2000), menyebutkan tiga hal yang mempengaruhi kinerja kebijakan, yaitu : (1) kebijakan itu sendiri, (2) organisasi, (3) lingkungan implementasi.
(Tesis, Akhmad Zaini)
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Gambaran Umum
Di berbagai daerah Indonesia seperti di Sulawesi barat, makasar, lebak banten dan kutainegara. Beberapa daerah tersebut mengalami persoalan dalam implementasi kebijakan program KB utamanya yaitu dalam hal penyuluhan program KB, Secara rinci persoalannya sebagai berikut :
a. Makassar
Penyuluh di Makassar masih jauh dari ideal, hal ini karena jumlah penyuluh masih kurang penyebabnya anggaran operasional serta tenaga penyuluh yang belum mencukupi untuk dilakukan penambahan. Jumlah penyuluh di Makassar sekitar 112 orang dari 143 kelurahan di Makassar. Dan dalam prakteknya satu tenaga penyuluh menangani 1400-an PUS. (www.primaironline.com )
b. Sulawesi Barat
Kinerja petugas penyuluh di Sulawesi Barat kurang maksimal karena jumlahnya sedikit dibandingkan dengan jumlah masyarakat yang ada disetiap desa. jumlahnya yaitu sekitar 400 orang dengan jumlah desa 516. Selain itu para penyuluh tidak maksimal dalam menjalankan kerjanya karena hanya diberikan insentif sekitar Rp25.000 perbulan untuk menjalankan program KB di desa. (www.antara-sulawesiselatan.com )
c. Lebak,Banten
Pemerintah Kabupaten Kekurangan Tenaga Penyuluh KB, saat ini jumlah tenaga PLKB tercatat 63 orang, padahal sebelumnya mencapai 200 orang. Dengan 450 desa dan kelurahan di Lebak berarti masih dibutuhkan 382 tenaga penyuluh lagi. (http://antarabanten.com/)
d. Kutai Kartanegara
Dalam pelaksanaan program KB KutaiKartanegara terkendala oleh terbatasnya jumlah tenaga PKB yang baru berjumlah 62 orang dengan jumlah desa 227 desa. (www.kutaikartanegara.com )
3.1 Analisis
Dari pemaparan data diatas dapat dianalisis bahwa jelas implementasi kebijakan program KB khususnya dalam penyuluhannya tidak bisa optimal dikarenakan kurangnya tenaga penyuluh KB. Hampir di semua berbagai daerah di Indonesia persoalan ataupun kendala yang dihadapi sama. Ini salah satu poin penting yang harus diperhatikan pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Karena kunci keberhasilan program KB yang dilaksanakannya adalah adanya petugas penyuluh yang professional. Dari situlah informasi tentang program yang telah direncanakan dan ditentukan akan disampaikan kepada masyarakat. Apabila dari awal tersebut penyampaiannya kurang maksimal maka hasilnyapun tidak akan sesuai harapan. Apalagi dengan jumlah petugas penyuluh yang kurang tersebut jelas visi misi program KB tidak akan tercapai.
Idealnya dalam pelaksanaan program KB satu orang tenaga penyuluh menangani satu desa atau 600 PUS (Pasangan Usia Subur) namun dalam prakteknya masih banyak penyuluh menangani lebih dari satu desa/kelurahan ataupun lebih 600 PUS misalnya yang terjadi diberbagai daerah yang telah dipaparkan diatas. Bagaimana bisa optimal penyampaiannya dengan tenaga penyuluh yang kurang begitu. Pastinya masyarakat tidak sepenuhnya menerima penuh informasi yang disampaikan. Belum lagi terkadang tiap penyuluh cara penyampaiannya kurang dipahami masyarakat.
Mengacu pada pendapat ahli yang telah dipaparkan diatas penulis disini berpendapat bahwa factor yang mempengaruhi implementasi kebijakan KB terutamanya dalam penyuluhan program KB pada masyarakat yaitu kurangnya sumberdaya tenaga penyuluh untuk melaksanakan kebijakan tersebut sehingga terkendala juga dalam mengkomunikasikan pada masyarakat dan karakteristik seorang penyuluh serta struktur organisasi mempengaruhi dalam penyampaiaanya.
Sumber daya manusia dan dana mempunyai peran menentukan, karena dengan sumber daya dan sumber dana yang memadai dan berkualitas kebijakan akan dapat dikomunikasikan kepada sasaran penerima kebijakan dengan baik pula.namun kenyataannya sumberdaya manusia kurang dari jumlah tenaga dan perlu dicermati juga kualitas pendidikan serta skill yang dimiliki penyuluh sehingga hasil kebujakan kurang maksimal.
Factor komunikasi sangat menentukan berhasilnya suatu program karena apabila komunikasi dilakukan dengan baik maka dampak komunikasi yang ditimbulkan akan berbuah baik pula. Sesuai dengan pendapat Edward III yang menjelaskan bawa syarat utama bagi implementasi yang efektif adalah bahwa para pelaksana kebijakan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan dan keputusan kebijakan harus disalurkan kepada orang-orang yang tepat. Jadi komunikasi harus akurat diterima oleh para pelaksana lalu jika kebijakan diterapkan maka perintah kebijakan harus diterima dengan jelas selain itu perintah kebijakan harus kosisten. Dalam kenyataannya masih banyak penyuluh belum melakukan komunikasi dengan maksimal kerena masih banyak masyarakat kurang yakin akan alat kontrasepsi yang dipromosikan tidak berdampak buruk pada kesehatan masyarakat. Serta media komunikasi sebatas pertemuan di balai desa yang pertemuannya bisa dihitung.
Factor disposisi yang dimaksudkan adalah sikap petugas dalam melaksanakan kebijakan serta reaksi klien atau kelompok sasaran sebagai wujud hasil komunikasi antara petugas dan klien. Disposisi sebagaimana dijelaskan oleh Subarsono AG (2005:91) diartikan sebagai watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementator, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratik. Jika seorang implementator mempunyai disposisi yang baik maka dalam menjalankan tugasnya dapat berjalan baik sesuai dengan harapan pembuat kebijakan. dan bila implementator dengan pembuat kebijakan berbeda perspektif maka dalam proses jalannya implementasi tidak akan efektif.
Factor struktur organisasi yaitu Kochler (dalam Arni Muhammad, 2001:23) mengatakan bahwa organisasi adalah sitem hubungan yang terstruktur yang mengkoordinasi usaha suatu kelompok untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan pendapat Wright (dalam Arni Muhammad, 2001:24) mengatakan bahwa organisasi adalah suatu bentuk system terbuka dari aktifitas yang dikoordinasikan oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama. Factor struktur organisasi juga dianggap penting dalam mempengaruhi proses kebijakan karena di dalam struktur organisasi terjadi saling hubungan antara organisasi-organisasi implementator dan lingkungan organisasi. Dan diharapkan seorang penyuluh dalam hubungan timbal balik dengan atasan atau pemimpin terjalin baik serta bukan hanya dihadapan atasan kerjanya rajin. Namun dimanapun dan kapanpun seoramg petugas harus selalu professional dan berdedikasi tinggi.
Factor lain menurut pendapat penulis yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan KB dalam penyuluhannya yaitu lingkungan, budaya, pengaruh agama, masyarakatnya sendiri. Seperti di suatu daerah yang pengaruh dari tokoh agama sangat kuat yang melarang berKB. Sehingga tugas penyuluh harus bisa meyakinkan agar program tersebut jadi bisa diterima. Kemudian budaya masyarakat yang masih melekat yaitu kalau belum dapat anak laki-laki masih ingin terus membuat anak hingga dapat anak laki-laki.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan diatas yaitu secara umum implementasi kebijakan program KB di Indonesia cenderung sudah bisa menekan laju petumbuhan penduduk. Namun kendati demikian pertumbuhan jumlah penduduk relative cepat tinggi. Hal yang demikian karena kurangnya penyuluh program KB, darisitu titik awal tidak efektifnya suatu kebijakan. Penyuluh merupakan ujung tombak/kunci keberhasilan kebijakan program KB. Jadi dalam penyuluhan/mengkomunikasikan program KB harus secara baik dan tepat. Hal-hal yang mempengaruhi implementasi program KB sesuai dengan yang dikemukakan George C.Edwards III yang menyatakan bahwa factor yang mempengaruhi implementasi kebijakan adalah : Komunikasi, Sumber daya, Disposisi dan Struktur birokrasi. Selain itu juga terdapat factor lain yang mempengaruhi yaitu factor lingkungan, dimana pengaruh kuat dari orang-orang penting suatu tempat menjadi sulit untuk meyakinkannya masyarakat terhadap pemakaian alat-alat KB.
4.2 SARAN/REKOMENDASI
Untuk lebih mengoptimalkan kembali kebijakan program KB ini yaitu dengan merevitalisasi program KB ditinjau dari segi penyuluhannya dengan strategi-strategi jitu yaitu
· Melihat permasalahan yang ada jelas bahwa pemerintah harus menambah penyuluh sehingga ideal dalam pelaksanaannya. Karena idealnya seorang penyuluh memegang satu desa/kelurahan.
· Melakukan seleksi dan meningkatkan standar kualitas penyuluh yang akan ditugaskan dalam pelaksanaan program KB.
Intinya seorang penyuluh hendaknya yang memiliki skill/terampil.
· Kemampuan penyuluh KB selalu diasah dengan pelatihan-pelatihan khusus mengenai apa yang menjadi program KB. Sehingga dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat mudah dipahami dan diterima.
· Dalam penyuluhan program KB menggunakan media komunikasi yang menarik agar masyarakat lebih tertarik dan antusias dalam menerima apa yang disampaikan.
· Melakukan kerjasama dengan pihak-pihak yang punya pengaruh kuat seperti kepala desa, tokoh agama yang di desa-desa karena masyarakat akan mudah percaya apabila penyampaiannya telah disetujui oleh orang-orang tersebut.
· Biasanya penyuluhan dilakukan dengan mengumpulkan masyarakat di tempat-tempat umum seperti balaidesa namun pemerintah dapat melakukan dengan cara door to door. Jadi setiap penyuluh mendatangi setiap rumah sehingga dengan penyampaian langsung setiap pasangan rumah tangga dapat diterima dengan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
www.metrotvnews.com, 9 Februari 2011, diakses 12 April 2011
http://batam.tribunnews.com,15 Maret 2011, diakses 12 April 2011
suryadh.wordpress.co, 12 Nov 2009, diakses 12 April 2011
kompas,kamis 31juli2008
Zaini,akhmad, 2006, Implementasi Kebijakan Program Keluarga Berencana Di Kabupaten Batang Studi Kasus Peningkatan Kesertaan Kb Pria Di Kecamatan Gringsing, Tesis, Magister Ilmu Administrasi/Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang.